Obrolan Kamis Sore kembali digelar di Auditorium Yayasan Gibbon Indonesia pada 10 September 2009 lalu. Kali ini selain berbicara mengenai isu gambut dan perubahan iklim, juga mengenai bebersih sampah di S. Ciliwung. Yus
Rusila Noor dari Wetlands International Indonesia Programme mengawali presentasi tentang “Gambut dan Perubahan Iklim” dengan menyajikan beberapa slide mengenai fenomena mencairnya gunung es di beberapa negara. Mulai dari G. Jayawijaya di Papua, sebagai salah satu gunung es di wilayah tropis, lalu G. Kilimanjaro di Kenya, hingga kota Montreal (Kanada) yang berdekatan dengan Kutub Utara.
Gambut adalah tumpukan tumbuhan yang meluruh dan tidak terdekomposisi secara sempurna, biasanya terdapat di lahan berawa. Karena kadar keasaman yang tinggi atau kondisi anaerob di perairan setempat, tidak mengherankan jika sebagian besar tanah gambut tersusun dari serpih dan kepingan sisa tumbuhan, daun, ranting, bahkan kayu-kayu besar, yang belum sepenuhnya membusuk. Kadang-kadang ditemukan pula, sisa-sisa bangkai binatang yang turut terawetkan di dalam lapisan-lapisan gambut.
Lahan gambut sendiri merupakan lahan produktif karena dapat digunakan sebagai ladang penggembalaan ternak, sumber makanan, sumber energi, sumber matapencaharian, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi serta bisa mencegah terjadinya banjir, atau sebaliknya. Dalam kaitannya dengan isu perubahan iklim global, lahan gambut adalah salah satu rimba yang masih tersisa di bumi dan diketahui merupakan ekosistem terrestrial yang paling efisien dalam menyimpan karbon. Namun, bila rimba ini rusak (terdegradasi) maka gambut juga merupakan sumber emisi antropogenik utama, juga berpengaruh pada kehidupan jutaan manusia yang hidup di bumi.
“Gambut ada dimana-mana. Sebaran gambut terluas di daerah yang beriklim sedang ada di Rusia dan Amerika, sedangkan di daerah tropis ada di Indonesia (Jambi, Berbak, Kalimantan, Papua) dan Cina. Di negara empat musim banyak gambut yang tidak terlihat, dan dijadikan pengembalaan kambing dan sapi,” jelas Yus Rusila. Yus juga menyinggung bahwa manajemen gambut di dua kawasan berbeda tidak bisa disamakan. Manajemen gambut di negara empat musim tidak cocok bila diterapkan di Indonesia.
Gambut juga ada di udara yang kita hirup. Seperti Kalimantan Selatan yang selalu dilanda kebakaran karena lahan gambutnya terbakar. Penduduknya selalu mengalami sesak napas, hidung berair, mata perih dan rambut kesat. Sementara di beberapa negara di Eropa, seperti Bolivia dan Finlandia, gambut sudah dijadikan bahan bakar. Dan Kalimantan Barat sudah mulai membangun tenaga listrik gambut.
Intisari permasalah di lahan gambut disebabkan pembalakan liar, kebakaran hutan dan lahan, drainase dan perubahan tata guna lahan. Antara tahun 1970 – 2000, Indonesia kehilangan sekitar 3,7 juta hektar lahan gambut, terutama di Sumatra dan Kalimantan. Lahan gambut menyimpan 528.000 juta ton karbon (30% karbon terrestrial, 75% karbon di atmosfir) atau sekitar 70 kali emisi tahunan global saat ini yang berasal dari pembakaran bahan bakar fossil. Isu drainase di daerah tropis memiliki masalah tersendiri. Drainase (pengeringan) lahan gambut sampai 1 meter, setara dengan emisi 90 ton CO2/ha/tahun.
Pengaruh kebakaran pada lahan gambut tahun 1997/98 seluas 1,5-2,2 juta ha menghasilkan emisi antara 3.000-9.000 juta ton CO2 atau sekitar 40% emisi CO2 global. Belum lagi kerugian di bidang kesehatan, kerugian waktu kerja dan sekolah, kerugian SDA, bisnis dan property, kerugian di bidang sosial (kemiskinan, ketegangan sosial).
Belum lagi investasi dalam menghindari emisi CO2, bila di Indonesia disediakan dana sebesar € 0,15 per ton untuk gambut seluas 3,4 juta ton CO2/th, bayangkan berapa biaya yang terbuang dengan percuma bila lahan tersebut terbakar. Padahal dana tersebut bisa digunakan pula untuk pengentasan kemiskian, mitigasi perubahan iklim, konservasi biologi, dan melawan kerusakan lahan. Karenanya perlu dilakukan pembangunan, pendekatan pro-rakyat miskin (pengembangan alternatif pekerjaan dan pendapatan), menguangkan nilai internasional lahan gambut (Bio-rights, Carbon credits), mengatasi akar masalah di lahan & hutan gambut (Pembalakan liar, pembangunan tdk berkelanjutan), komitmen dunia internasional, keamanan sosial & finansial untuk masyarakat lokal dan good governance
Di tingkat lokal, solusi masalah di lahan gambut ini (kasus di Kalimantan) yang paling efektif adalah dengan restorasi hidrologi. Kebakaran biasanya terjadi karena permukaan air menurun, sehingga gambut mengering dan mudah terbakar (sebab alami atau karena campur tangan manusia). Di Kalimantan Tengah dilakukan penabatan (dari bahasa Dayak yang artinya penyekatan). Dengan dilakukan penyekatan ini maka tingkat permukaan air bisa terus terjaga. Dengan penabatan juga memungkinkan orang untuk bercocok tanam tanaman pangan maupun pohon yang bernilai ekonomi di atas lahan gambut, bahkan pembuatan tabat serupa kanal juga bisa mengatasi pencurian kayu dari lahan gambut. Di Kalimantan Tengah, penabatan dilakukan berdasarkan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat setempat dan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitarnya. Masyarakat diuntungkan dengan pemanenan ikan maupun pohon yang bernilai ekonomi tersebut.
Adanya Perda di Kalimantan Tengah mengenai Zero Burning belum sepenuhnya bisa terlaksana, mengingat kurang gencarnya kampanye yang dilakukan pemda. Perda tersebut hanya efektif pada 3 – 4 tahun pertama dan kini cenderung menurun penegakan hukumnya. Masih ada kesan saling menyalahkan antar instansi pemerintah. Masyarakat harus diajak berpartisipasi dalam menjaga kawasan hutan di sekitarnya dari kebakaran, karena hutan adalah “milik” mereka.
Reza Lubis, dari Wetlands International juga menambahkan dalam beberapa tahun sudah ada kemajuan dari praktisi dan LSM seperti Kepres No. 30/1990 yang berisi rumusan hukum dalam mengatasi masalah di lahan gambut. Dan beberapa tahun ini ada peraturan tambahan, Inpres untuk menjadi contoh bagaimana pengelolaan gambut di tingkat lingkungan hidup, saat ini sedang dibuat untuk mengatasi tekanan terhadap gambut. Di beberapa daerah bahkan ada tim-tim khusus yang menangani hal ini.
[irma dana & jeni shannaz]