Tak bosan rasanya mendengar cerita di Obrolan Kamis Sore. Selalu ada berita baru yang terjadi di ranah konservasi. Pada pertemuan ketiga, tepatnya tanggal 15 Oktober 2009, Asman Adi Purwanto dari Indonesia Animal Rescue
(IAR) bercerita tentang “Migrasi Burung Pemangsa”.Topik yang menarik. Pas betul dengan kondisi alam saat ini, Oktober adalah bulannya burung-burung pemangsa (raptor) dan burung pantai bermigrasi dari belahan bumi utara menuju selatan. Dalam presentasinya, Asman menjelaskan tentang migrasi raptor secara umum, pola migrasi, serta waktu migrasi. Beberapa jenis raptor yang setiap tahunnya melintas di kawasan Puncak, Bogor, seperti Sikep-madu asia (Pernis ptilorhynchus), Elang-alap cina (Accipiter soloensis), Elang-alap jepang (Accipiter gularis), Elang kelabu (Butastur indicus), dan Baza hitam (Aviceda leuphotes).
Berkaitan dengan fenomena alam tersebut, pengamat burung di Bogor mengadakan monitoring di Bukit Paralayang, Puncak, setiap Sabtu dan Minggu, selama bulan Oktober. Selain mengamati, mereka juga menghitung jumlah burung-burung pemangsa yang melintas di kawasan tersebut . Tergantung cuacanya, jika mendung, burung-burung tersebut seakan enggan menampakan diri, melewati Puncak. Tapi, saat cuaca cerah, dengan panas matahari, burung-burung itu, bisa puluhan sekali melintas di atas kepala.
“Mengamati migrasi burung pemangsa, sebetulnya bisa merupakan bisnis tersendiri, bila dikaitkan dengan kegiatan ekowisata,” jelas Asman, mengingat fenomena ini amat langka dan beberapa pengamat burung dari luar negeri sudah mulai ikut mengamati migrasi ini di kawasan Puncak. Selama pengamatan di Puncak kadang ditemukan pula jenis burung pantai seperti Terik asia dalam rombongan migrasi raptor tersebut, namun hal ini dimungkinkan (bahkan burung ini juga beberapa kali pernah terlihat di kawasan perkotaan di Bogor) karena jenis tersebut merupakan burung pemakan serangga yang banyak terdapat di daratan.
Penghitungan jumlah dan jenis raptor yang melintas di kawasan Puncak juga dilakukan. Penghitungan ini bisa dengan metode hitung langsung atau dengan pembandingan jumlah individu yang terlihat dalam bulatan lensa (binocular) vs jumlah bulatan lensa dalam suatu kelompok burung. Penghitungan dengan metode terakhir juga bisa dilakukan secara tidak langsung, artinya kelompok burung tersebut dibuat dokumentasinya (foto/video) terlebih dahulu. Namun bila menggunakan cara ini memerlukan jenis kamera/videocam yang cukup baik, agar kelompok burung tersebut bisa terlihat jelas.
Di Jawa, pada saat datang jalur migrasi kelompok raptor terpecah menjadi 2-3 jalur, tetapi saat kembali (spring migration), jalur migrasinya cenderung ke utara. Jalur yang dilalui raptor biasanya mengikuti punggungan bukit, agar memudahkan mereka mendapat makanan dan beristirahat di hutan-hutan. Informasi rinci mengenai jalur yang pasti dilalui oleh raptor ini masih dalam penyusunan dan masih memerlukan banyak informasi lagi. Karenanya diperlukan suatu koordinasi dalam melakukan pengamatan migrasi raptor ini pada seluruh pengamat burung di Indonesia.
Di Indonesia sendiri ada beberapa jenis raptor yang menetap (resindent). Jenis ini tidak melakukan migrasi, walaupun kadang mereka terlihat berbiak di suatu tempat, dan di saat lainnya tidak terlihat. Jenis-jenis ini hanya berkelana di dalam daerah teritorinya saja (home range). Bagi sebagian pengamat burung, perilaku ini dikategorikan dalam migrasi lokal. Kegiatan berpindah tempat itu sendiri bisa disebut migrasi bila ada tekanan (misalnya berkurangnya jumlah pakan saat musim dingin) dan sifatnya teratur.
Di penghujung Obrolan Kamis Sore, Hasudungan Pakpakan, menggelitik Raptor Indonesia [RAIN] melalui Asman tentang trend migrasi burung pemangsa, di mana saja lokasi singgahnya dan apakah setiap tahun populasinya bertambah atau berkurang? “Seperti halnya negara Cina, mereka lebih peduli dalam mengamati raptor, karena kalau jumlah populasi raptor yang kembali ke negaranya semakin menurun, mereka kuatir populasi tikusnya akan melonjak berkali lipat ….,”. Mungkin komentar ini patut dipertimbangkan bagi para pengamat raptor di Indonesia agar lebih serius dalam mengumpulkan informasi mengenai migrais raptor ini.
[Irma Dana & Jeni Shannaz]