Kedatangan teman-teman dari LSM di Bogor di Auditorium CICO membuat suasana sore itu menjadi hangat. Yayasan Gibbon Indonesia (YGI) dengan Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) menjadi tuan rumah dalam “Obrolan
Kamis Sore” yang akan digelar setiap satu bulan sekali, dan tanggal 13 Agustus 2009 merupakan langkah pertama kegiatan ini.“Obrolan Kamis Sore” kali ini memunculkan dua isu, antara lain: Peranan Ruang Terbuka Hijau bagi Habitat Burung di Jakarta, yang disampaikan oleh Ady Kristanto dari Jakarta Birdwatching Community; dan Penggalian Etnobotani, Studi Kasus : Masyarakat Desa Sirnarasa, Gunung Halimun, yang disampaikan oleh Mega dari PEKA Indonesia.
“Ide acara Obrolan Kamis Sore adalah, beberapa tahun yang lalu di Bogor pernah ada kegiatan serupa, seperti Bogor Bird Evening dan Bogor Informal Meeting. Setiap bulan sekali, dari Bandung saya selalu menyempatkan diri untuk hadir dalam acara tersebut, sampai harus menyisihkan uang kuliah karena
banyak manfaat yang saya dapat dari acara tersebut. Mudah-mudahan Obrolan Kamis Sore ini bisa kembali menjadi ajang saling bertukar informasi dan bisa mempererat silaturahmi antara teman-teman LSM“ tutur
Hasudungan Pakpahan, Direktur Yayasan Gibbon Indonesia, saat membuka Obrolan Kamis Sore.
Rupanya, kebanyakan peserta yang hadir sore itu sudah saling mengenal satu sama lain. Dan sudah cukup lama bergiat di lingkungan LSM. Ada yang dari Wetlands International-IP, PEKA Indonesia, KKI-IPP, IISES, PILI, WCS-IP, Jakarta Green Monster, Yayasan BOS, Burung Indonesia, KIH, UKF-IPB dan Universitas Indonesia.
Presentasi pertama dibawakan oleh Ady Kristanto yang juga merupakan penulis buku “Alam Jakarta: Panduan Keanekargaman Hayati yang Tersisa di Jakarta”. Selama tahun 2005-2006, bersama Jakarta Birdwatchers Community melakukan pengamatan burung di ruang-ruang terbuka hijau (RTH) Jakarta
untuk kebutuhan kuliah. Teridentifikasi ada 121 jenis burung di Jakarta. Kondisi RTH Jakarta sendiri jauh dari ideal, hanya 9% dari seharusnya 30% luas kawasan Jakarta (+ 21 luas lapangan bola).
Kawasan Monumen Nasional (Monas) sebagai salah satu RTH Jakarta memiliki 23 jenis burung. Namun demikian nampaknya pemerintah daerah dan masyarakat belum peduli akan hal ini. Perhatian Pemda dalam membangun RTH masih ditekankan pada unsur estetika dan sisi bisnis dari pada fungsi ekologisnya. Beberapa burung yang mudah dikenali di kawasan Monas antara lain Caladi ulam, Kepodang, Takur ungkut-ungkut, dan Punai ading yang cukup banyak. Ady meyakini bahwa Punai gading merupakan
burung pindahan dari Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA), dia pernah menyaksikan kelompok besar Punai gading terbang dari SMMA menuju arah Monas. Di SMMA sendiri Punai Gading mulai jarang dijumpai, entah karena jumlah pohon makanannya berkurang (karena kawasannya semakin menipis, terutama sejak ada pembangunan Pantai Indah Kapuk), atau karena jumlahnya yang telah melimpah sehingga pohon makanan yang ada di sana tidak lagi mencukupi.
Burung juga bisa menjadi indikator kebersihan lingkungan bahkan indikator polusi suara. Burung biasanya sulit dijumpai di perairan yang tercemar. Di Taman Suropati, burung yang berbeda menempati strata ketinggian yang berbeda tergantung tingkat toleransi terhadap kebisingannya. Di atas tanah banyak dijumpai Burung gereja yang tahan terhadap kebisingan dan juga lalu lintas manusia, sementara di tajuk pepohonan dijumpai jenis Kutilang. Burung gereja ini amat aktif dan menyebabkan burung-burung lainnya menyingkir dari sana.
Dibandingkan dengan data pengamatan burung oleh Symbiose tahun 1995, jumlah jenis burung di Jakarta mengalami peningkatan. Tapi hal ini mungkin juga disebabkan karena adanya berbagai kegiatan seremonial penglepasan burung.
Dalam bukunya, selain jenis burung Ady juga memaparkan keberadaan hidupan liar lainnya, seperti mamalia dan serangga. Dari kota Jakarta, Obrolan Kamis Sore pun dilanjutkan ke kawasan Gunung Halimun.
Mega dari PEKA Indonesia, menjabarkan bahwa Etnobotani adalah hubungan timbal balik antara kelompok masyarakat dengan lingkungan hidupnya, khususnya tumbuh-tumbuhan. Pada kegiatan penggalian potensi etnobotani di Desa Sirnarasa, Gn. Halimun, dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu pendidikan lingkungan hidup, community development dan riset.
Desa Sirnarasa, memiliki tujuh dusun dan cukup terpencil. “Dalam hal pemanfaatan hasil hutan, saat ini hanya Mak Beurang (paraji = dukun beranak) dan Bengkong (juru sunat) yang masih menggunakan tumbuhan sebagai obat-obatan tradisional. Mereka mendapatkan ilmu pengobatan itu secara turun temurun dari orangtuanya, dan hanya mengandalkan ingatan saja, tidak pernah dicatat. Agak sulit memang untuk mendapatkan “catatan” kegunaan tumbuhan di Desa Sirnarasa, mengingat sebagian besar penduduk seniornya masih buta aksara. Masyarakat di sana lebih suka menggunakan “obat warung” dari pada obat tradisional yang tumbuh di sekitarnya untuk keperluan pengobatan sakit ringan, mengingat pula pembuatan obat tradisional memerlukan waktu yang tidak sebentar. Jarang sekali ada warga yang menanam tanaman obat di halaman rumahnya. Demikian pula untuk sayuran, semuanya didatangkan dari Pelabuhan Ratu“ cerita Mega. Pengrajin peralatan rumah tangga dengan memanfaatkan tumbuhan di sekitar juga sudah tidak ditemukan, penduduk lebih suka menggunakan peralatan plastik yang lebih murah dan awet penggunaannya.
Tidak hanya pekarangan rumah saja yang jarang ditanami tumbuhan obat, sekolah-sekolah di sekitar Sirnarasa pun hanya menanam tumbuhan yang menarik dan berbunga saja. Kalaupun ada tumbuhan obat, biasanya ditemukan dipinggir-pinggir selokan seperti kumis kucing.
Sebetulnya fenomena ini tidak hanya terjadi di Desa Sirnarasa saja, di perkotaan pun mengalami hal yang sama. Di banyak halaman sekolah di Kalimatan, Sumatera dan Jawa telah ditanami oleh aneka tumbuhan “apotek hidup”, namun sayangnya jenis tumbuhan apotek hidup ini semua seragam dan tidak menonjolkan tumbuhan lokal yang bisa berfungsi sebagai apotek hidup, bahkan tidak banyak murid atau guru yang tahu bagaimana membuat obat dari tumbuhan apotek hidup yang ada di halaman sekolahnya itu. Terkesan bahwa menanam tumbuhan apotek hidup ini hanya untuk memenuhi anjuran dari “atas” saja tanpa mengetahui tujuan dan fungsinya bagi manusia dan lingkungannya. Apakah tumbuhan itu hanya sebagai koleksi atau untuk keperluan kesehatan, demikian Koen Setiawan menambahkan.
Dari cerita Mega, ada tambahan yang menarik dari Hasudungan Pakpahan. Untuk menjaga dan melestarikan etnobotani di tiap wilayah mungkin diperlukan kerjasama dengan lembaga yang mempunya program wisata ekologi. Seperti di Kampung Naga, penduduk dengan bangga melestarikan pola hidup yang masih tradisional. Mungkin harus ada apresiasi yang bisa mendatangkan pendapatan bagi masyarakat tersebut, apalagi Gunung Halimun mempunyai potensi besar untuk tujuan wisata.
Namun demikian masih ada beberapa pertanyaan yang menggantung. Apakah benar untuk melestarikan etnobotani suatu daerah harus dengan imbalan berbentuk materi? Apakah tidak lebih baik untuk mengajarkan kemandirian dalam masyarakat tersebut dengan memanfaatkan potensi alam yang dimilikinya? Bagaimana pelestarian etnobotani ini tidak berbentrokan dengan program pemerintah dalam hal puskesmas masuk desa misalnya. Atau bagaimana peran pemerintah dalam menyebarluaskan informasi etnobotani yang pernah dilakukan oleh berbagai lembaga dan perorangan, agar semua bisa mendapatkan manfaat dan tidak selalu mengulang kegiatan yang sama?
Ah, suatu pekerjaan rumah yang masih amat panjang…… Puas rasanya mendengarkan cerita dari Ady dan Mega. Silahkan meng-klik www.gibbon-indonesia.org untuk mendapatkan informasi lengkap dari cerita di atas. Adakah di antara rekan-rekan yang akan berbagi cerita dalam acara Obrolan Kamis Sore berikutnya?
[ID/JS]